Refleksi hasil bincang-bincang diatas kereta api (Wollongong-Sydney)
Tepat hari senin tanggal 7 Oktober 2013 merupakan labour
day, hari buruh nasional Australia. Tapi bagi kami bertiga, saya, Wimbi,
dosen UKSW Salatiga, dan Kris, guru Bahasa Inggris di SMA N 1 di kalimantan
Barat, hari tersebut adalah libur day. Kesempatan libur tersebut
kami manfaatkan untuk jalan-jalan menikmati indahnya pemandangan sepanjang
jalan menuju Sydney yang merupakan kota terpadat di Australia.
Memang banyak pilihan untuk ke Sydney, tetapi alternatif
terbaik adalah dengan menggunakan kereta api. Perjalanan ke Sydney kurang lebih
ditempuh sekitar 1,5 jam dari tempat kami tinggal, Wollongong. Selama dalam perjalanan, kami berdiskusi
tentang banyak hal, salah satunya adalah tentang pendidikan di Indonesia. Fokus
pembicaraan kami adalah mengenai pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kami.
Saya memulai diskusi dengan menceritakan
pengalaman salah seorang Professor di Perguruan Tinggi negeri di Indonesia yang
merasa kasihan melihat anaknya yang setiap hari harus membawa banyak buku
sepulang sekolah. Anaknya tampak kecapean bahkan seringkali anaknya mengeluhkan
proses pembelajaran yang sangat berbeda dari apa yang pernah dialami saat dia
masih mengikuti sekolah di salah satu Primary school di Australia.
Berangkat dari cerita tersebut kamipun mulai berbincang-bincang
tentang sekolah-sekolah dasar yang “bermerek” Standar Internasional, RSBI. Dalam diskusi tersebut, ada beberapa hal yang
menjadi poin-poin utama diskusi kami. Pertama, kami menilai sekolah bertaraf
international lebih bermotif proyek ketimbang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dasar di Indonesia.
Kesimpulan tersebut kami ambil, karena melihat fakta dilapangan bahwa,
sekolah-sekolah berlogo international tersebut pada praktiknya merupakan wadah
penyaluran dana dari Mendikbud yang, menurut kami, terlalu berlebihan. Dampak negatif yang kami lihat juga adalah
ada indikasi ketidak adilan pemerintah
dalam menangani pendidikan di Indonesia dengan adanya konsep standarisasi
tersebut. Berungtunglah Mahkamah konstitusi telah membatalkan RSBI di seluruh
Indonesia.
Poin kedua dari diskusi kami adalah pada level
sekolah dasar, para siswa sepertinya terlalu dipaksa untuk belajar. Entah karena keinginan atau gengsi orang tua
untuk melihat anaknya berprestasi sehingga anak tersebut harus terpaksa
mengikut berbagai macam kursus setelah pulang sekolah. Akibatnya, banyak
anak-anak tersebut kehilangan masa-masa bermain mereka. Padahal bermain juga
adalah bagian dari belajar dan mempengaruhi motivasi berprestasi serta fungsi
dari otak anak.
Terkait dengan belajar sambil bermain, kami
teringat saat berada di bangku sekolah dasar. Begitu jarang kami mengikuti
kursus di sore hari, namun waktu luang kami gunakan untuk bermain. Kami merasa,
bahwa dari permainan tersebut kami belajar arti bersosialisasi, melatih
komunikasi, bekerjasama, berkreativitas
dan berkompetisi serta pemanfaatan lingkungan sebagai sumber ide. Tetapi karena
zaman sudah berubah dimana teknologi informasi dan komunikasi sudah mempengaruhi
pola pikir manusia, maka, permainan-permainan tradisional tersebut perlahan mulai
ditinggalkan oleh anak-anak kecil saat ini. Bahkan banyak sekali dari anak-anak
seumuran TK atau SD sudah terlahir sebagai Digital Native. Maksudnya, sejak
baru lahir mereka sudah diekspos ke dunia digital seperti HP, TV, tablet
ataupun laptop.
Diskusi kamipun terus berlanjut dari satu topik
ketopik lainnya. Topik yang kami bahas adalah bagaimana pendidikan yang terbaik
untuk anak kami. Sayapun menceritakan
bagaimana saya mendidik anak saya di rumah. Kebetulan kedua teman saya belum
memiliki anak jadi mereka lebih memilih untuk mendengarkan pengalaman saya
tersebut.
Saya menjelaskan kepada mereka bahwa, anak saya
yang pertama, 5 tahun, saya masukkan di salah satu PAUD yang dikelola oleh
keluarga. Dari pengamatan saya, anak saya cukup banyak mengalami kemajuan baik
dalam menggambar, menari ataupun berbicara. Namun saya cukup kaget ketika
melihat perkembangan yang kurang baik dari anak saya. Setelah saya pelajari,
ternyata hal-hal yang kurang baik tersebut merupakan pengaruh dari dua hal
yaitu, kurangnya perhatian guru di PAUD tersebut serta pengaruh negatif dari
teman sebaya anak saya.
Sayapun mulai berpikir keras tentang bagaimana
saya harus mendidik anak saya dirumah untuk menyeimbangkan pengaruh negatif
dari proses belajar di PAUD tersebut. Akhirnya, sayapun memutuskan untuk
mempelajari buku-buku pendidikan anak di rumah dan berharap agar istri saya
bisa menjadi guru dari anak-anak saya. Saat ini, saya berharap semoga aktifitas
belajar sambil bermain dirumah tersebut relatif bisa membantu perkembangan
kepribadian anak-anak saya.

Konsekuensi dari konsep tersebut adalah orang tua perlu menyediakan waktu bersama anak
mereka baik untuk mengajarnya mengaji, menulis, menggambar ataupun yang
lainnya. Orang tua pada konsep ini adalah menjadi idola dan guru utama dan
pertama dari anak-anak mereka yang masih kecil. Bukan baby sitter, pengasuh
bayi buka pula dari guru PAUD atau SD.
Kami menyadari sudah banyak orang yang mempraktikkan konsep ini dan
berhasil. Kami juga memaklumi bahwa konsep ini terkendala oleh banyak hal,
salah satunya kesibukan orang tua yang
mungkin fokus pada pekerjaan atau bisnis. Tetapi apapun kondisi yang dihadapi
oleh para orang tua, kami berharap ada waktu yang disediakan khusus untuk
mendidik anak-anak mereka.
Karena kereta kami sudah sampai Sydney, maka
diskusipun kami akhiri sehingga belum ada kesimpulan yang optimal dari
bincang-bincang singkat tersebut. Tetapi kami berharap obrolan santai kami
tersebut bermanfaat bagi para orang tua selaku penentu pertama dan utama warna
dari keperibadian anak.
Sumber gambar:
Diakses, 8 oktober, 2013, www.abufahry.wordpress.com,
www.media2give.blogspot.com & http://www.google.com
Penulis:
Marham Jupri Hadi, Pendidik dan pemerhati sosial.
Mahasiswa Pasca Sarjana University of Wollongong, New South Wales, Australia.
Email :
marhamjuprihadi@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar