Marham JH.
Surabaya, 25 Mei 2012
sumber : http://marham2012.wordpress.com/

Terlalu
membiarkan anak mereka bermain kapan saja dan dengan siapa saja
Ada seorang Bapak yang baru saja saya kenal, dalam
perjalanan ke Surabya, mengatakan bahwa induk ayam akan mencari anak mereka
sampai ketemu ketika anaknya tidak berada disekitarnya. Terutama apabila waktu
magrib telah tiba dimana sang induk akn terus memanggil-manggil anaknnya Mereka
akan terus mencarinya kemana-mana sampai ia menemukan anaknya.. Apakah
itu terjadi pada kebanyakan orang tua sekarang? Kita semua memiliki jawaban
yang berbeda tentang hal ini. Tetapi kalau kita perhatikan di daerah perkotaan,
ada banyak orang tua yang begitu santainya membiarkan anak mereka keluar dari
rumah tanpa mempedulikan kapan anaknya harus pulang dan dengan siapa anaknya
keluyuran.
Mungkin kurang bijak kalau orang tua disalahkan dalam hal
ini karena mereka punya alasan kuat untuk itu. Mereka mungkin saja sibuk
bekerja atau mengurus bisnisnya. Tetapi, saya justru bersyukur dengan banyaknya
kasus penculikan anak, meskipun bagi sebagian besar orang hal tersebut
menakutkan. Maksud saya, dengan kejadian tersebut, para orang tua mulai
bertanya dimana keberadaan anak-anak mereka dan berusaha mencarinya.
Mereka terlalu percaya pada
orang lain untuk mendidik anak mereka
Dunia pendidikan secara fisik telah menunjukkan kemajuan
yang sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya gedung-gedung
baru, fasilitas yang lengkap ditambah dengan masuknya tekhonolgi informatika
yang sudah terinstal ke sekolah-sekolah. Akibatnya banyak orang tua yang
menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah sekolah yang dianggap berkualitas.
Mereka sepertinya mempercayakan sepenuhnya masa depan anak-anak mereka kepada
orang lain, kepada para guru di sekolah tersebut. Hal tersebut membuat mereka
lupa pada tugas utama mereka yaitu menjadi guru pertama dan utama bagi
keturunannya.

Pertanyaanya adalah apakah ada jaminan bahwa harapan
orang tua akan menjadi kenyataan? Saya sendiri tidak mampu memberikan jawaban
yang pasti. Tetapi saya meyakini bahwa dengan sepenuhnya menggantungkan nasib
anak pada para “guru saat ini” perlu kita pertimbangkan kembali. Dengan kata
lain, ada baiknya kita juga menyadari bahwa guru juga memiliki batasan yang
membuat mereka sepenuhnya tidak mampu menjamin tercapainya tujuan para orang
tua.
Akan tetapi, secara pribadi, saya
mengacungkan dua jempol kepada sejumlah guru yang mengabdikan hidup mereka bagi
para penerus bangsa walaupun mereka sendiri mengalami masalah yang tidak kecil
dalam kesehariannya. Saya juga bangga kepada para orang tua yang bertekad untuk
membuat “home schooling” yang menjadikan rumah mereka tempat
belajar/ sekolah bagi anak-anaknya.
Membahagiakan
anak dengan memanjakannya
Suat hari saya mendengar pernyataan yang luar biasa tapi
konyol dari beberapa orang tua mengenai cara mereka membanggakan anaknya.
Mereka memberikan apa saja yang anak-anaknya inginkan agar mereka bahagia.
Mungkin bagi mereka, khususnya orang tua dari kalangan “mampu”, beranggapan
bahwa itu adalah hal yang terbaik, tetapi sejujurnya itu sudah
berlebihan. Sebaliknya, mereka telah menjadikan anak-anak mereka manja. Mungkin
pernyataan dari seorang wanita, yang mendapat gelar “ the best mother on earth” perlu menjadi pemikiran kita bersama. Dia mengatakan bahwa silahkan
memanjakan pasangan anda, wahai para orang tua, tetapi jangan pernah memanjakan
anak-anak anda.
Bagi saya, para anak yang terlahir dari keluarga yang
tidak “ beruntung” adalah anak yang beruntung, karena mereka tidak sempat
mengalami masa-masa pemanjaan oleh orang tua mereka. Percaya atau tidak, anak
yang lahir dari sebuah kemanjaan akan berakhir menjadi “sumber penderitaan
orang tua, saat mereka sudah dewasa nanti. Itu terjadi karena mereka sedikit,
bahkan tidak memiliki kesempatan untuk belajar arti hidup. Arti hidup lebih
banyak ditemukan melalu masalah, salah satunya penderitaan.
Bersukurlah para anak yang kehilangan orang tua mereka
karena dengan penderitaan yang mereka alami diawal masa-masa hidup mereka, akan
menjadikan mereka pribadi yang tangguh. Bukankah orang yang siap menghadapi
cobaan dan bahkan kebanyakan orang berhasil dalam hidupnya adalah orang
mengalami kerasnya cobaan hidup.
Membiarkan orang lain menjadi
idola bagi anak mereka
LADI GAGA menjadi salah satu ikon wanita “modern atau mungkin
mudarat”. Saya tidak akan memaksakan penilaian pribadi saya kepada siapapun.
Tetapi saya perhatikan ada banyak sekali anak-anak remaja yang menjadikannya
idola dalam hidup mereka. Parahnya lagi, para orang tuapun ikut-ikutan
menjadikan penggemarnya.
Dalam hal
ini saya berpikir bahwa para orang tua sudah GAGAL menjadi
contoh yang baik bagi anaknya. Mereka tidak berhasil menjadi model yang bisa
diidolakan anak-anak mereka. Seharusnya, merekalah yang menjadi kebanggaan
anak-anak mereka.
Alasan
lain
Selain hal-hal tersebut diatas,
masih ada beberapa hal yang perlu menjadi alasan kenapa saya beranggapan bahwa
kita para orang tua telah keluar jalur dari jalan yang seharusnya. Beberapa
diantaranya antara lain: kita sering mengeluhkan guru yang memukul anak mereka
di sekolah padahal kita mempercayakan anak kita pada mereka. Selanjutanya, kita
juga memberikan anak-anak kita makanan dari sumber yang tidak sehat secara
jasmani dan rohani. Kita menyadari bahwa mental dan jiwa kita juga dibentuk
oleh makanan yang kita komsumsi. Tentunya dengan menafkahi anak-anak kita dari
hasil yang tidak baik, maka kita secara sadar telah merusak karakter generasi
penerus kita. Terlalu lucu rasanya bahwa kita mengharapkan keturunan yang
berahlak mulia, tetapi justru kita sebaliknya menghalangi bahkan menjadi
penyebab rusaknya kemampuan mereka untuk menDAYAgunakan (membangkitkan dan memanfaatkan) BUDI pekerti
yang baik.
Hal lain yang cukup parah adalah kita membiarkan anak
kita menjadi raja dirumah kita. Maksud saya adalah kita memberikan peran yang
berlebihan terhadap anak kita, untuk berbuat sesuka hati mereka. Bagi saya hal
ini sama dengan membiarkan anak-anak menindas para orang tua. Hal ini
diperparah lagi dengan dampak negatif undang-undang perlindungan anak dan
atau KDRT yang justru membatasi ruang gerak orang tua dalam mendidik
anak-anaknya secara totalitas.
Yang terakhir, saya pikir, kita telah salah dalam
memberikan kebahagian pada anak-anak kita dengan membiarkan TV, HP, dan Internet
menggantikan kita sebagai penghibur hati mereka. Kita biarkan anak-anak kita
mencari sumber ketenangan diluar diri mereka, padahal kebahagian itu sudah ada
di dalam diri mereka dan ada juga dalam diri kita sebagai orang tua. Bukankah
kebahagian itu begitu dekat tetapi kita menjauhinya. Bukankah kebahagian itu
murah meskipun banyak orang yang telah sukses secara finansial tidak mampu
membelinya.
Alangkah indahnya kalau kita mau menyadari bahwa
anak-anak kita adalah sumber kebahagian bagi kita dan anak-anak yang berahlak
mulia yang sanggup mewarisi seluruh kebaikan dalam diri kita. Mereka akan
menjadi buah hati dan bunga mata kita. Kita hanya perlu menyadari dan
merawatnya agar kita bisa memetik hasilnya.
Kesimpulan
Akhirnya, mengatakan orang tua sekarang kejam pada
anaknya mungkin bukan istilah yang tepat, tetapi mungkin ada kalimat yang lebih
tepat untuk mengatakan bahwa orang tua sekarang secara tidak sadar telah
membiarkan atau menghancurkan anak-anak mereka sendiri.
Tulisan ini saya ungkapkan bukan sebagai bentuk
kekecewaan atau protes kepada para orang tua, karena saya juga adalah ayah bagi
anak-anak saya. Tetapi ini salah satu bentuk kepedulian saya pada apa yang
sedang terjadi pada anak-anak dan orang tua modern. Semoga tulisan ini tidak
menusuk hati dan meninggalkan luka kepada orang lain. Tetapi saya berharap ini
bisa menjadi obat penawar bagi racun yang telah merasuk dalam jiwa dan raga
kita. Amin.