ABSANO–Oh
No
“PROGRAM YANG BAIK-TERLAKSANA KURANG BAIK
DAN BERDAMPAK TIDAK
BAIK”.
Marham Jupri Hadi (2011)
"Tulisan ini adalah sebuah
argumen yang dibangun berdasarkan hasil observasi dan diskusi terhadap program 3A Pemerintah Provinsi NTB. Mohon koreksi jika ada yang tidak relevan."
Latar
Belakang
Upaya untuk meningkatkan IPM Nusa Tenggara Barat melalui gerakan 3A (Aksano, Absano dan Adono) merupakan langkah yang cukup strategis dan akseleratif menuju NTB yang berdaya saing. Namun implementasi dari ketiga bentuk program tersebut perlu dievaluasi keterlaksanaan dan ketercapaian target-target “nol” yang telah dijadikan sebuah ambisi bersama. Hal ini disebabkan karena pada praktiknya pelaksanaan dari ketiga gerakan tersebut banyak yang “lari” dari roadmap yang telah ditentukan. Dengan kata lain pelaksanaan ketiga program tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan bagaimana keigatan tersebut seharusnya dilaksanakan. Dampaknya, program tersebut menjadi wadah pencetakan “koruptor-koruptor lokal” pada tataran birokrasi dan pelaksana karena ia merupakan “lahan subur” bagi para “petani uang”.
Yang cukup menyedihkan bahwa pelaksanaan program tersebut bukan hanya kurang berhasil tetapi juga menjadikan warga belajar berorientasi pada“matre” bukan pada peningkatan literasi mereka. Dengan kata lain, program 3 A tersebut belum seutuhnya berhasil, tetapi justru sebaliknya yaitu, menjadi salah satu penyebab "rusaknya mental" belajar masyarakat. .
Upaya untuk meningkatkan IPM Nusa Tenggara Barat melalui gerakan 3A (Aksano, Absano dan Adono) merupakan langkah yang cukup strategis dan akseleratif menuju NTB yang berdaya saing. Namun implementasi dari ketiga bentuk program tersebut perlu dievaluasi keterlaksanaan dan ketercapaian target-target “nol” yang telah dijadikan sebuah ambisi bersama. Hal ini disebabkan karena pada praktiknya pelaksanaan dari ketiga gerakan tersebut banyak yang “lari” dari roadmap yang telah ditentukan. Dengan kata lain pelaksanaan ketiga program tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan bagaimana keigatan tersebut seharusnya dilaksanakan. Dampaknya, program tersebut menjadi wadah pencetakan “koruptor-koruptor lokal” pada tataran birokrasi dan pelaksana karena ia merupakan “lahan subur” bagi para “petani uang”.
Yang cukup menyedihkan bahwa pelaksanaan program tersebut bukan hanya kurang berhasil tetapi juga menjadikan warga belajar berorientasi pada“matre” bukan pada peningkatan literasi mereka. Dengan kata lain, program 3 A tersebut belum seutuhnya berhasil, tetapi justru sebaliknya yaitu, menjadi salah satu penyebab "rusaknya mental" belajar masyarakat. .
Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk mengajak para pembaca untuk lebih memahami bagaimana praktik gerakan 3A baik pada level birokrasi, pelaksana dan masyarakat yang menjadi sasaran program. Tulisan ini lebih difokuskan pada evaluasi impelementasi dari gerakan BUTA AKSARA menuju NOL.
Permasalahan
Ada
tiga poin yang menjadi fokus pada tulis ini yaitu
1. Bagaimana
praktik pelaksanaan kebijakan ABSANO (KF) ditingkat pelaksana (PKBM)?
2. Bagaimana
praktik pembelajaran KF di tiap kelompok belajar?
3. Bagaimana
solusi untuk memperbaiki praktik pelaksanaan kebijakan dan pembelajaran KF?
Pembahasan
Praktik pelaksanaan
kebijakan ABSANO (KF) di tingkat pelaksana program
Mempelajari
bagaimana para pelaksana program KF menjalankan program dari tingkat pengusulan
program, pendataan, perkerutan tenaga pengajar sampai pada pelaporan, maka
terdapat banyak praktik yang kurang baik berlaku didalamnya.
Pada
tahapan pengusulan atau pengajuan proposal kegiatan pembelajaran, para
pelaksana KF cenderung melakukan “manipulasi” dalam usulannya khususnya
mengenai data peserta KF dan Tenaga Pengajar. Sementara itu, pihak yang
memberikan persetujuan terindikasikan “tebang pilih” dalam mengesahkan kelompok
pelaksana mana yang layak mendapatkan program atau tidak.

Sementara
itu, pada level perekrutan tenaga pendidik, ada kecendrungan pemberdayaan
tenaga pendidik yang tidak “siap” mensukseskan program ABSANO. Meskipun, para
tenaga pengajar yang telah dipilih telah menempuh jenjang pendidikan SMA bahkan
perguruan tinggi, tetapi sangat banyak diantara mereka yang tidak diberikan pembekalan yang relevan
dalam mensukseskan program tersebut. Tenaga pengajar hanya diberikan pelatihan
kilat oleh pelaksana maupun pemerintah dengan dalih meminimalisir budget dan
asumsi bahwa tenaga pengajar KF sudah kompeten. Jika mengkaji fakta tentang
kondisi tenaga pengajar tersebut, maka hampir bisa dipastikan bahwa proses
pembelajaran tidak akan berjalan sesuai dengan harapan.
Pada
tahap akhir, yaitu tahap pelaporan, pihak pelaksana program seringkali
ditemukan melaporkan jumlah peserta yang telah mengikuti proses pembelajaran
KF, bukan jumlah peserta KF yang telah tuntas
atau melek aksara CALISTUNG. Akibatnya, data yang diterima oleh
pemerintahpun menjadi sangat tidak valid
dan reliable. Jika data yang diberikan tidak valid maka
pelaporan pemerintah melalui media masapun akan menjadi kebohongan publik yang
berujung pada pembodohan masyarakat.
Praktik pembelajaran KF
di Kelompok Belajar
Ketercapaian
cita-cita untuk mewujudkan ANGKA BUTA AKSARA NOL sangat ditentukan oleh
empat komponen yaitu, Decision maker,
pelaksana program, tenaga pengajar dan orientasi belajar peserta didik.
Pengambil kebijakan bertanggung jawab dalam merencanakan bagaimana bentuk
pelaksanaan, perangkat peraturan dan sistem evaluasi. Hampir semua hal tersebut
sudah tersedia namun tidak optimal dalam sosialisasinya.
Pelaksana
program dalam hal ini PKBM ataupun lembaga dalam bentuk yang lainnya bertugas
untuk mendata peserta didik, merekrut tenaga pengajar, mengontrol proses
pembelajaran, menyiapkan sistem evaluasi sesesuai dengan ketentuan dan
mendistribusikan biaya pelaksanaan program kepada tenaga pengajar dan peserta
didik. Tetapi implementasi dari kesemua tufoksi tersebut jarang terlaksana
dengan baik karena “diracuni” oleh adanya orientasi KF sebagai lahan subur
untuk memanen uang. Dalam hal ini kualitas pelaksanaan program bukanlah menjadi
skala prioritas sehingga pelaksanaan TUFOKSI hanya sebatas dilaksanakan.
Tenaga
pengajar seperti yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya memiliki banyak
ketidak sesuain dengan ketentuan ideal yang disebabkan oleh minimnya kompetensi
tenaga pengajar. Selain itu, tenaga pengajar juga memiliki orientasi yang tidak
jauh beda dengan para pengelola PKBM, yaitu untuk menjadikan KF sebagi
proyek pertanian uang. Disorientasi
tenaga pengajar akan berdampak pada kinerja pengajar dalam membimbing peserta
didik untuk menguasai kemampuan CALISTUNG.
Peserta
didik, selaku sasaran program, ternyata sebagian besar memiliki orientasi yang
hampir sama dengan pengelola PKBM dan tenaga pengajar. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa peserta didik, mereka mengatakan bahwa KF ini
merupakan ajang berkumpul untuk mendapatkan uang meskipun jumlahnya hanya Rp. 5.000
persekali pertemuan. Jawaban yang tidak jauh berbeda akan didapatkan jika
pertanyaan yang sama ditanyakan kepada
para peserta KF tahap lanjutan yang baru dan sedang berlangsung baik yang
pendanaannya bersumber dari APBN maupun APBD.
Mengevaluasi
kondisi tersebut, maka muncul pertanyaan apakah implementasi dari program KF
tersebut berhasil atau tidak?. Menanggapi pertanyaan tersebut, ada dua opsi
jawaban yang bisa ditawarkan jika bereferensi pada fakta dilapangan yaitu,
kurang berhasil dan gagal.
Program
ABSANO ini telah berhasil dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia namun
sulit untuk menyetujui sepenuhnya bahwa adopsi sistem 32 hari yang dilaksakan di
NTB berhasil. Memang, di beberapa kelompok belajar program KF menujjukkan
tanda-tanda keberhasilan, tetapi setelah ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata
keberhasilan tersebut disebabkan karena peserta didik yang mengikuti program
tersebut adalah warga yang telah mampu membaca menulis dan berhitung. Hal ini
terjadi karena pengelola PKBM ingin dianggap berhasil menjalankan program KF
dengan ekpektasi akan ditunjuk untuk mendapatkan program pemerintah pada waktu
yang akan datang. Jadi Dimana letak
keberhasilan program ini jika memang demikian?. Namun, bagaimanapun kondisi
yang telah, sedang dan akan terjadi terkait praktik pembelajaran KF tersebut,
penulis tetap mengatakan program tersebut berhasil dirancang dan dilaksanakan
namun gagal dalam mewujudkan praktik KF yang baik dan menuntaskan Angka Buta
Aksara.
Kenyataan
pahit tersebut harus diterima oleh semua pihak jika ada itikad untuk mengurangi
jumlah buta aksara demi mewujudkan masyarakat NTB yang beriman dan berdaya
saing. Pemahaman dan kesadaran mengenai permasalahan tersebut menjadi dasar
untuk melakukan perbaikan dalam perancangan program dan pengontrolan serta
evaluasi dari program ABSANO.
Solusi untuk
memperbaiki praktik pelaksanaan kebijakan dan pembelajaran KF?.
Untuk
melakukan perbaikan terhadap praktik pelaksanaan program KF ada beberapa hal
yang perlu dipahami bersama oleh semua stake holder yaitu: Pemahaman tentang
permasalahan praktik KF serta uji coba berbagai inovasi metode pembelajaran KF.
Pemahaman permasalahan melalui strategi problem
mapping (pemetaan masalah) sangat penting untuk mempermudah penentuan
langkah-langkah inovatif yang akan diujicoba pada program KF selanjutnya.
Adapun permasalahan pembelajaran KF secara umum telah dipaparkan, akan tetapi
permasalahan permasalahn sosiokultural, politis dan yang lainnya yang berlum
terakomodasi dalam tulisan ini perlu di kaji
dan dipetakan kembali sehinga pilihan solusi inovasi bisa lebih
mendekati akurat.
Selanjutnya,
berdasarkan permasalahan diatas maka, penulis menawarkan beberapa solusi untuk
memperbaiki praktik pembelajaran KF baik pada level pengambil kebijakan, pelaksana,
tenaga pengajar maupun peserta didik.
Pengambil Kebijakan
Keputusan
yang telah diambil oleh Pemerintah Provinsi maupun daerah akan lebih bijak jika
dalam proses pengambilannya melibatkan lebih banyak pihak khususnya pihak PKBM,
Perguruan Tinggi, Sekolah maupun yang lainya. langkah seperti ini selain
efektif untuk mengidentifikasi permasalahan praktik pembelajaran KF juga akan
memperbaiki bentuk rancangan program yang akan diputuskan. Selain itu,
keterlibatan berbagai pihak terkait akan mempermudah dan mempercepat sosialiasi
informasi kepada semua lapisan masyarakat.
Selanjutnya
sosialiasasi dari program absano juga harus dibarengi dengan penegasan
aturan-aturan berupa sanksi atau hukuman yang akan diberikan bagi pihak-pihak
yang melakukan praktik pelaksanaan program secara tidak benar. Langkah ini
penting untuk meminimalisir adanya pemalsuan data oleh pihak pengelola program
khususnya PKBM. Selain itu, Penanggung
jawab atau koordinator program ABSANO harus betul-betul melaksanakan evaluasi
bagi peserta didik untuk mengukur ketuntasan belajar.
Pelaksana Program –PKBM
PKBM
sebagai salah satu lembaga yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan program
tersebut perlu untuk lebih diseleksi melalui kegiatan verifikasi terkait kebenaran
data peserta didik. Evaluasi oleh tim independen juga diperlukan untuk
mengetahui PKBM yang betul-betul layak untuk direkomendasikan menjadi pengelola
KF pada tahapan selanjutnya.
Tenaga Pengajar
Kompetensi
tenaga pengajar perlu ditingkatkan melalui sistem pendidikan dan pelatihan yang
lebih baik agar proses pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan harapan.
Peserta Didik.
Peserta
didik adalah bagian yang paling vital dari keberhasilan program KF ini, oleh
karena itu ada beberapa pemikiran yang perlu diambil untuk memperbaiki kondisi
peserta didik.
a. Peserta didik harus
betul orang yang masih dalam usia produktif dan tidak mampu membaca, menulis
dan berhitung. Pemerintah harus melakukan verifikasi mengenai data yang telah
diberikan oleh PKBM meskipun memerlukan tambahan biaya operasional.
b. Orientasi peserta didik
untuk menjadikan pembelajaran KF sebagai ajang berkumpul mendapatkan uang perlu
dirubah melaui program penyadaran dalam berbagai bentuk. Hal ini perlu
dilakukan oleh pemerintah, PKBM dan Tenaga Pengajar baik sebelum dan ketika
pelaksanaan pembelajaran KF.
Kesimpulan
Secara
ringkas, ada tiga hal pokok yang bisa disimpulkan terkait tentang pembahasan
mengenai implementasi program ABSANO atau Keaksaraan Fungsional di NTB yaitu
1. Para pelaksana program
KF dalama menjalankan program ABASANO tersebut baik dari tingkat pengusulan
program, pendataan, perkerutan tenaga pengajar sampai pada pelaporan ditemukan terdapat
banyak praktik yang kurang baik berlaku didalamnya.
2.
Proses pembelajaran di
kelompok belajar KF tidak tidak terlaksana dengan baik yang disebabkan oleh
tidak terlaksananya TUFOKSI dari PKBM selaku pengelola pelaksanaan program,
tenaga pengajar yang kurang kompeten karena tidak diberikan pembekalan yang
optimal serta adanya disorientasi pelaksaan pembelajaran yang dari pihak
pengelola PKBM, tenaga pengajar dan peserta didik yang mana uang menjadi
motivasi utama keterlibatan dalam pelaksnaan program, bukannya penuntasan Angka
Buta Akasara.
3. Untuk memperbaiki
praktik pelaksanaan program Absano melalui program KF, maka pemetaan masalah
(problem mapping), menguji coba berbagai sistem pembelajaran inovasi disertai
dengan adanya berbagai perubahan kebijakan dalam perancangan program ABSANO
pada tahap selanjutnya perlu dilakukan. Selain itu, secara optimalisasi sosialisasi
program dan sanksi terhadap pelanggaran
berupa praktik yang tidak benar juga harus dilaksanakan disertai dengan
pemberian evaluasi secara menyeluruh kepada semua peserta didik yang bertujuan
untuk meminalisir praktik pelaksanaan pembelajaran yang tidak benar sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Sumber foto dan peta: www.google.com
Sumber foto dan peta: www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar