Minggu, 01 September 2013

Refleksi terhadap Gerakan 3A di Provinsi Nusa Tenggara Barat

ABSANO–Oh No
“PROGRAM YANG BAIK-TERLAKSANA KURANG BAIK
DAN BERDAMPAK TIDAK BAIK”.

Marham Jupri Hadi (2011)
"Tulisan ini adalah sebuah argumen yang dibangun berdasarkan hasil observasi dan diskusi terhadap program 3A Pemerintah Provinsi NTB. Mohon koreksi jika ada yang tidak relevan."  


Latar Belakang


Upaya untuk meningkatkan IPM Nusa Tenggara Barat melalui gerakan 3A (Aksano, Absano dan Adono) merupakan langkah yang cukup strategis dan akseleratif menuju NTB yang berdaya saing. Namun implementasi dari  ketiga bentuk program tersebut perlu dievaluasi keterlaksanaan dan ketercapaian target-target “nol” yang telah dijadikan sebuah ambisi bersama. Hal ini disebabkan karena pada praktiknya pelaksanaan dari ketiga gerakan tersebut banyak yang “lari” dari roadmap yang telah ditentukan. Dengan kata lain pelaksanaan ketiga program tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan bagaimana keigatan tersebut seharusnya dilaksanakan. Dampaknya, program tersebut menjadi wadah pencetakan “koruptor-koruptor lokal” pada tataran birokrasi dan pelaksana karena ia merupakan “lahan subur” bagi para “petani uang”. 

Yang cukup menyedihkan bahwa pelaksanaan program tersebut bukan hanya kurang berhasil tetapi juga menjadikan warga belajar berorientasi pada“matre” bukan pada peningkatan literasi mereka.  Dengan kata lain, program 3 A tersebut belum seutuhnya berhasil, tetapi justru sebaliknya yaitu, menjadi salah satu penyebab "rusaknya mental" belajar masyarakat.


Pada tulisan ini, penulis  mencoba untuk mengajak para pembaca untuk lebih memahami bagaimana praktik gerakan 3A baik pada level birokrasi, pelaksana dan masyarakat yang menjadi sasaran program. Tulisan ini lebih difokuskan pada evaluasi impelementasi dari gerakan BUTA AKSARA menuju NOL.

Permasalahan
Ada tiga poin yang menjadi fokus pada tulis ini yaitu
1.    Bagaimana praktik pelaksanaan kebijakan ABSANO (KF) ditingkat pelaksana (PKBM)?
2.    Bagaimana praktik pembelajaran KF di tiap kelompok belajar?
3.    Bagaimana solusi untuk memperbaiki praktik pelaksanaan kebijakan dan pembelajaran KF?

Pembahasan
Praktik pelaksanaan kebijakan ABSANO (KF) di tingkat pelaksana program
Mempelajari bagaimana para pelaksana program KF menjalankan program dari tingkat pengusulan program, pendataan, perkerutan tenaga pengajar sampai pada pelaporan, maka terdapat banyak praktik yang kurang baik berlaku didalamnya.

Pada tahapan pengusulan atau pengajuan proposal kegiatan pembelajaran, para pelaksana KF cenderung melakukan “manipulasi” dalam usulannya khususnya mengenai data peserta KF dan Tenaga Pengajar. Sementara itu, pihak yang memberikan persetujuan terindikasikan “tebang pilih” dalam mengesahkan kelompok pelaksana mana yang layak mendapatkan program atau tidak.

Pada tahapan pendataan calon peserta didik, PKBM sebagai pelaksana sering ditemukan memberikan data yang fiktif  meskipun sudah ada ketentuan persyaratan identitas peserta KF yaitu by name, by photo dan by complete address. Ketidakjujuran data tersebut telah menjadi bagian yang sulit untuk dipisahkan karena data sangat berkaitan dengan jumlah anggaran yang akan diterima oleh pelaksana KF. Ironisnya, fakta ini sudah banyak diketahui oleh pihak pengambil kebijakan, namun tindakan pencegahan dan pemberian sanksi tidak dilaksakan secara optima. Fenomena tersebut justru menjadi lumrah dan “dibudayakan” di Nusa Tenggara Barat yang sedang mengejar visi menuju NTB BERSAING. Kondisi tersebut membuktikan kebenaran bahwa pelaksanaan Gerakan ABASANO dalam bentuk pembelajaran KF kurang  baik di tingkat pelaksana program.

Sementara itu, pada level perekrutan tenaga pendidik, ada kecendrungan pemberdayaan tenaga pendidik yang tidak “siap” mensukseskan program ABSANO. Meskipun, para tenaga pengajar yang telah dipilih telah menempuh jenjang pendidikan SMA bahkan perguruan tinggi, tetapi sangat banyak diantara mereka  yang tidak diberikan pembekalan yang relevan dalam mensukseskan program tersebut. Tenaga pengajar hanya diberikan pelatihan kilat oleh pelaksana maupun pemerintah dengan dalih meminimalisir budget dan asumsi bahwa tenaga pengajar KF sudah kompeten. Jika mengkaji fakta tentang kondisi tenaga pengajar tersebut, maka hampir bisa dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak akan berjalan sesuai dengan harapan.

Pada tahap akhir, yaitu tahap pelaporan, pihak pelaksana program seringkali ditemukan melaporkan jumlah peserta yang telah mengikuti proses pembelajaran KF, bukan jumlah peserta KF yang telah tuntas  atau melek aksara CALISTUNG. Akibatnya, data yang diterima oleh pemerintahpun menjadi sangat tidak valid dan reliable. Jika data yang diberikan tidak valid maka pelaporan pemerintah melalui media masapun akan menjadi kebohongan publik yang berujung pada pembodohan masyarakat.

Praktik pembelajaran KF di Kelompok Belajar
Ketercapaian cita-cita untuk mewujudkan ANGKA BUTA AKSARA NOL sangat ditentukan   oleh empat komponen yaitu, Decision maker, pelaksana program, tenaga pengajar dan orientasi belajar peserta didik. Pengambil kebijakan bertanggung jawab dalam merencanakan bagaimana bentuk pelaksanaan, perangkat peraturan dan sistem evaluasi. Hampir semua hal tersebut sudah tersedia namun tidak optimal dalam sosialisasinya.

Pelaksana program dalam hal ini PKBM ataupun lembaga dalam bentuk yang lainnya bertugas untuk mendata peserta didik, merekrut tenaga pengajar, mengontrol proses pembelajaran, menyiapkan sistem evaluasi sesesuai dengan ketentuan dan mendistribusikan biaya pelaksanaan program kepada tenaga pengajar dan peserta didik. Tetapi implementasi dari kesemua tufoksi tersebut jarang terlaksana dengan baik karena “diracuni” oleh adanya orientasi KF sebagai lahan subur untuk memanen uang. Dalam hal ini kualitas pelaksanaan program bukanlah menjadi skala prioritas sehingga pelaksanaan TUFOKSI hanya sebatas dilaksanakan.

Tenaga pengajar seperti yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya memiliki banyak ketidak sesuain dengan ketentuan ideal yang disebabkan oleh minimnya kompetensi tenaga pengajar. Selain itu, tenaga pengajar juga memiliki orientasi yang tidak jauh beda dengan para pengelola PKBM, yaitu untuk menjadikan KF sebagi proyek  pertanian uang. Disorientasi tenaga pengajar akan berdampak pada kinerja pengajar dalam membimbing peserta didik untuk menguasai kemampuan CALISTUNG.

Peserta didik, selaku sasaran program, ternyata sebagian besar memiliki orientasi yang hampir sama dengan pengelola PKBM dan tenaga pengajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa peserta didik, mereka mengatakan bahwa KF ini merupakan ajang berkumpul untuk mendapatkan uang meskipun jumlahnya hanya Rp. 5.000 persekali pertemuan. Jawaban yang tidak jauh berbeda akan didapatkan jika pertanyaan yang sama  ditanyakan kepada para peserta KF tahap lanjutan yang baru dan sedang berlangsung baik yang pendanaannya bersumber dari APBN maupun APBD.

Mengevaluasi kondisi tersebut, maka muncul pertanyaan apakah implementasi dari program KF tersebut berhasil atau tidak?. Menanggapi pertanyaan tersebut, ada dua opsi jawaban yang bisa ditawarkan jika bereferensi pada fakta dilapangan yaitu, kurang berhasil dan gagal.

Program ABSANO ini telah berhasil dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia namun sulit untuk menyetujui sepenuhnya bahwa adopsi sistem 32 hari yang dilaksakan di NTB berhasil. Memang, di beberapa kelompok belajar program KF menujjukkan tanda-tanda keberhasilan, tetapi setelah ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata keberhasilan tersebut disebabkan karena peserta didik yang mengikuti program tersebut adalah warga yang telah mampu membaca menulis dan berhitung. Hal ini terjadi karena pengelola PKBM ingin dianggap berhasil menjalankan program KF dengan ekpektasi akan ditunjuk untuk mendapatkan program pemerintah pada waktu yang akan datang. Jadi  Dimana letak keberhasilan program ini jika memang demikian?. Namun, bagaimanapun kondisi yang telah, sedang dan akan terjadi terkait praktik pembelajaran KF tersebut, penulis tetap mengatakan program tersebut berhasil dirancang dan dilaksanakan namun gagal dalam mewujudkan praktik KF yang baik dan menuntaskan Angka Buta Aksara.

Kenyataan pahit tersebut harus diterima oleh semua pihak jika ada itikad untuk mengurangi jumlah buta aksara demi mewujudkan masyarakat NTB yang beriman dan berdaya saing. Pemahaman dan kesadaran mengenai permasalahan tersebut menjadi dasar untuk melakukan perbaikan dalam perancangan program dan pengontrolan serta evaluasi dari program ABSANO.

Solusi untuk memperbaiki praktik pelaksanaan kebijakan dan pembelajaran  KF?.
Untuk melakukan perbaikan terhadap praktik pelaksanaan program KF ada beberapa hal yang perlu dipahami bersama oleh semua stake holder yaitu: Pemahaman tentang permasalahan praktik KF serta uji coba berbagai inovasi metode pembelajaran KF. Pemahaman permasalahan melalui strategi problem mapping (pemetaan masalah) sangat penting untuk mempermudah penentuan langkah-langkah inovatif yang akan diujicoba pada program KF selanjutnya. Adapun permasalahan pembelajaran KF secara umum telah dipaparkan, akan tetapi permasalahan permasalahn sosiokultural, politis dan yang lainnya yang berlum terakomodasi dalam tulisan ini perlu di kaji  dan dipetakan kembali sehinga pilihan solusi inovasi bisa lebih mendekati akurat.

Selanjutnya, berdasarkan permasalahan diatas maka, penulis menawarkan beberapa solusi untuk memperbaiki praktik pembelajaran KF baik pada level pengambil kebijakan, pelaksana, tenaga pengajar maupun peserta didik.

Pengambil Kebijakan
Keputusan yang telah diambil oleh Pemerintah Provinsi maupun daerah akan lebih bijak jika dalam proses pengambilannya melibatkan lebih banyak pihak khususnya pihak PKBM, Perguruan Tinggi, Sekolah maupun yang lainya. langkah seperti ini selain efektif untuk mengidentifikasi permasalahan praktik pembelajaran KF juga akan memperbaiki bentuk rancangan program yang akan diputuskan. Selain itu, keterlibatan berbagai pihak terkait akan mempermudah dan mempercepat sosialiasi informasi kepada semua lapisan masyarakat.
Selanjutnya sosialiasasi dari program absano juga harus dibarengi dengan penegasan aturan-aturan berupa sanksi atau hukuman yang akan diberikan bagi pihak-pihak yang melakukan praktik pelaksanaan program secara tidak benar. Langkah ini penting untuk meminimalisir adanya pemalsuan data oleh pihak pengelola program khususnya PKBM.  Selain itu, Penanggung jawab atau koordinator program ABSANO harus betul-betul melaksanakan evaluasi bagi peserta didik untuk mengukur ketuntasan belajar.

Pelaksana Program –PKBM
PKBM sebagai salah satu lembaga yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan program tersebut perlu untuk lebih diseleksi melalui kegiatan verifikasi terkait kebenaran data peserta didik. Evaluasi oleh tim independen juga diperlukan untuk mengetahui PKBM yang betul-betul layak untuk direkomendasikan menjadi pengelola KF pada tahapan selanjutnya. 

Tenaga Pengajar
Kompetensi tenaga pengajar perlu ditingkatkan melalui sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih baik agar proses pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan harapan. 

Peserta Didik.
Peserta didik adalah bagian yang paling vital dari keberhasilan program KF ini, oleh karena itu ada beberapa pemikiran yang perlu diambil untuk memperbaiki kondisi peserta didik.
a.      Peserta didik harus betul orang yang masih dalam usia produktif dan tidak mampu membaca, menulis dan berhitung. Pemerintah harus melakukan verifikasi mengenai data yang telah diberikan oleh PKBM meskipun memerlukan tambahan biaya operasional.
b.       Orientasi peserta didik untuk menjadikan pembelajaran KF sebagai ajang berkumpul mendapatkan uang perlu dirubah melaui program penyadaran dalam berbagai bentuk. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah, PKBM dan Tenaga Pengajar baik sebelum dan ketika pelaksanaan pembelajaran KF.

Kesimpulan
Secara ringkas, ada tiga hal pokok yang bisa disimpulkan terkait tentang pembahasan mengenai implementasi program ABSANO atau Keaksaraan Fungsional di NTB yaitu
1.   Para pelaksana program KF dalama menjalankan program ABASANO tersebut baik dari tingkat pengusulan program, pendataan, perkerutan tenaga pengajar sampai pada pelaporan ditemukan terdapat banyak praktik yang kurang baik berlaku didalamnya.
2.        Proses pembelajaran di kelompok belajar KF tidak tidak terlaksana dengan baik yang disebabkan oleh tidak terlaksananya TUFOKSI dari PKBM selaku pengelola pelaksanaan program, tenaga pengajar yang kurang kompeten karena tidak diberikan pembekalan yang optimal serta adanya disorientasi pelaksaan pembelajaran yang dari pihak pengelola PKBM, tenaga pengajar dan peserta didik yang mana uang menjadi motivasi utama keterlibatan dalam pelaksnaan program, bukannya penuntasan Angka Buta Akasara.
3.     Untuk memperbaiki praktik pelaksanaan program Absano melalui program KF, maka pemetaan masalah (problem mapping), menguji coba berbagai sistem pembelajaran inovasi disertai dengan adanya berbagai perubahan kebijakan dalam perancangan program ABSANO pada tahap selanjutnya perlu dilakukan. Selain itu, secara optimalisasi sosialisasi program dan  sanksi terhadap pelanggaran berupa praktik yang tidak benar juga harus dilaksanakan disertai dengan pemberian evaluasi secara menyeluruh kepada semua peserta didik yang bertujuan untuk meminalisir praktik pelaksanaan pembelajaran yang tidak benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Sumber foto dan peta: www.google.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar