Selasa, 08 Oktober 2013

Pendidikan untuk anak kami ...


Refleksi hasil bincang-bincang diatas kereta api (Wollongong-Sydney)

Tepat hari senin tanggal 7 Oktober 2013 merupakan labour day, hari buruh nasional Australia. Tapi bagi kami bertiga, saya, Wimbi, dosen UKSW Salatiga, dan Kris, guru Bahasa Inggris di SMA N 1 di kalimantan Barat, hari tersebut adalah libur day. Kesempatan libur tersebut kami manfaatkan untuk jalan-jalan menikmati indahnya pemandangan sepanjang jalan menuju Sydney yang merupakan kota terpadat di Australia.

Memang banyak pilihan untuk ke Sydney, tetapi alternatif terbaik adalah dengan menggunakan kereta api. Perjalanan ke Sydney kurang lebih ditempuh sekitar 1,5 jam dari tempat kami tinggal, Wollongong.  Selama dalam perjalanan, kami berdiskusi tentang banyak hal, salah satunya adalah tentang pendidikan di Indonesia. Fokus pembicaraan kami adalah mengenai pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kami.

Saya memulai diskusi dengan menceritakan pengalaman salah seorang Professor di Perguruan Tinggi negeri di Indonesia yang merasa kasihan melihat anaknya yang setiap hari harus membawa banyak buku sepulang sekolah. Anaknya tampak kecapean bahkan seringkali anaknya mengeluhkan proses pembelajaran yang sangat berbeda dari apa yang pernah dialami saat dia masih mengikuti sekolah di salah satu Primary school di Australia.  

Berangkat dari cerita tersebut kamipun mulai berbincang-bincang tentang sekolah-sekolah dasar yang “bermerek” Standar Internasional, RSBI.  Dalam diskusi tersebut, ada beberapa hal yang menjadi poin-poin utama diskusi kami. Pertama, kami menilai sekolah bertaraf international lebih bermotif proyek ketimbang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia.  Kesimpulan tersebut kami ambil, karena melihat fakta dilapangan bahwa, sekolah-sekolah berlogo international tersebut pada praktiknya merupakan wadah penyaluran dana dari Mendikbud yang, menurut kami, terlalu berlebihan.  Dampak negatif yang kami lihat juga adalah ada indikasi  ketidak adilan pemerintah dalam menangani pendidikan di Indonesia dengan adanya konsep standarisasi tersebut. Berungtunglah Mahkamah konstitusi telah membatalkan RSBI di seluruh Indonesia.

Poin kedua dari diskusi kami adalah pada level sekolah dasar, para siswa sepertinya terlalu dipaksa untuk belajar.  Entah karena keinginan atau gengsi orang tua untuk melihat anaknya berprestasi sehingga anak tersebut harus terpaksa mengikut berbagai macam kursus setelah pulang sekolah. Akibatnya, banyak anak-anak tersebut kehilangan masa-masa bermain mereka. Padahal bermain juga adalah bagian dari belajar dan mempengaruhi motivasi berprestasi serta fungsi dari otak anak.

Terkait dengan belajar sambil bermain, kami teringat saat berada di bangku sekolah dasar. Begitu jarang kami mengikuti kursus di sore hari, namun waktu luang kami gunakan untuk bermain. Kami merasa, bahwa dari permainan tersebut kami belajar arti bersosialisasi, melatih komunikasi,  bekerjasama, berkreativitas dan berkompetisi serta pemanfaatan lingkungan sebagai sumber ide. Tetapi karena zaman sudah berubah dimana teknologi informasi dan komunikasi sudah mempengaruhi pola pikir manusia, maka, permainan-permainan tradisional tersebut perlahan mulai ditinggalkan oleh anak-anak kecil saat ini. Bahkan banyak sekali dari anak-anak seumuran TK atau SD sudah terlahir sebagai Digital Native. Maksudnya, sejak baru lahir mereka sudah diekspos ke dunia digital seperti HP, TV, tablet ataupun laptop.

Diskusi kamipun terus berlanjut dari satu topik ketopik lainnya. Topik yang kami bahas adalah bagaimana pendidikan yang terbaik untuk anak kami.  Sayapun menceritakan bagaimana saya mendidik anak saya di rumah. Kebetulan kedua teman saya belum memiliki anak jadi mereka lebih memilih untuk mendengarkan pengalaman saya tersebut.

Saya menjelaskan kepada mereka bahwa, anak saya yang pertama, 5 tahun, saya masukkan di salah satu PAUD yang dikelola oleh keluarga. Dari pengamatan saya, anak saya cukup banyak mengalami kemajuan baik dalam menggambar, menari ataupun berbicara. Namun saya cukup kaget ketika melihat perkembangan yang kurang baik dari anak saya. Setelah saya pelajari, ternyata hal-hal yang kurang baik tersebut merupakan pengaruh dari dua hal yaitu, kurangnya perhatian guru di PAUD tersebut serta pengaruh negatif dari teman sebaya  anak saya. 

Sayapun mulai berpikir keras tentang bagaimana saya harus mendidik anak saya dirumah untuk menyeimbangkan pengaruh negatif dari proses belajar di PAUD tersebut. Akhirnya, sayapun memutuskan untuk mempelajari buku-buku pendidikan anak di rumah dan berharap agar istri saya bisa menjadi guru dari anak-anak saya. Saat ini, saya berharap semoga aktifitas belajar sambil bermain dirumah tersebut relatif bisa membantu perkembangan kepribadian anak-anak saya.

Berangkat dari cerita tersebut, kami terus menggali beberapa kemungkinan terbaik untuk mendidik anak-anak kami. Memang cukup berat untuk mencari solusi terbaik karena kami tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk menformulasikan konsep pendidikan anak. Namun, salah satu ide yang muncul adalah Joyful Home Learning, proses belajar di rumah sambil bermain. Kata home learning sengaja dipilih untuk membedakannya dengan home schooling, meskipun kami tidak begitu memahami konsep keduanya. Tetapi pada prinsipnya, home learning dalam persfektif kami adalah proses pembelajaran yang dimana orang tua menjadi pemegang peranan kunci dalam proses tersebut.

Konsekuensi dari konsep tersebut adalah  orang tua perlu menyediakan waktu bersama anak mereka baik untuk mengajarnya mengaji, menulis, menggambar ataupun yang lainnya. Orang tua pada konsep ini adalah menjadi idola dan guru utama dan pertama dari anak-anak mereka yang masih kecil. Bukan baby sitter, pengasuh bayi buka pula dari guru PAUD atau SD.  Kami menyadari sudah banyak orang yang mempraktikkan konsep ini dan berhasil. Kami juga memaklumi bahwa konsep ini terkendala oleh banyak hal, salah satunya kesibukan orang tua  yang mungkin fokus pada pekerjaan atau bisnis. Tetapi apapun kondisi yang dihadapi oleh para orang tua, kami berharap ada waktu yang disediakan khusus untuk mendidik anak-anak mereka.

Karena kereta kami sudah sampai Sydney, maka diskusipun kami akhiri sehingga belum ada kesimpulan yang optimal dari bincang-bincang singkat tersebut. Tetapi kami berharap obrolan santai kami tersebut bermanfaat bagi para orang tua selaku penentu pertama dan utama warna dari keperibadian anak.

Sumber gambar:
Diakses, 8 oktober, 2013, www.abufahry.wordpress.com, www.media2give.blogspot.com  & http://www.google.com


Penulis:
Marham Jupri Hadi, Pendidik dan pemerhati sosial. Mahasiswa Pasca Sarjana University of Wollongong, New South Wales, Australia.
Email     : marhamjuprihadi@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar